Ikrar Sumpah Pemuda sudah menggaung 93 tahun lamanya, tercetus kala itu sebagai bentuk ketegasan eksistensi pemuda di bawah opresi pemerintahan kolonial. Sejarah mencatat, pertemuan para pemuda yang berbeda-beda latar belakang itu bukan tanpa makna, bukan untuk saling unjuk gigi atau membanggakan diri, mereka membawa tujuan yang sama, membahas persatuan dan arti tanah kelahiran. Semua berkumpul dalam atap yang sama, duduk sama rata, berbekal kegelisahan dalam kongres sebelumnya yang seolah terjadi rigiditas gagasan, tak menghasilkan keputusan akhir dari tujuan konferensi. Ya, gerombolan pemuda itu gelisah. Keinginan persatuan itu ada namun tersangkut di tenggorakan, dan berkerak di lidah. Semua masalah ditetapkan dan akan di bahas pada kongres pemuda kedua, yang menjadi cikal bakal sumpah pemuda di Indonesia. Kita semua adalah anak dari sumpah, yang dengannya kita berbahasa, bernusa, dan berbangsa satu.
“…….Kongres menginjak hari terakhir dan mencapai acara penutupan. Setelah sumpah yang membebaskan pikiran indonesia dari gagasan buntu tentang kebangsaan itu didengungkan, di Indonesische Clubgebouw, tempat dilangsungkannya kongres, menjadi semakin penuh esak. Ribuan orang yang mendadak hadir ingin mendengar bocoran lagu kebangsaan, yang katanya kebarat-baratan, yang katanya tak nasional, yang katanya marsellaise, yang katanya diciptakan oleh seorang pewarta jawa bernama Wage. Sebelum diperdengarkan, Van der Plas, pejabat kolonial yg hadir berkacak dan berkomentar ketus…. “kalau tuan ingin menyanyikan sebuah lagu, izin dahulu kepada pak polisi yang diujung pintu itu. Sudah melotot tuh.”
Layaknya bertemu hantu, penanggungjawab acara menelan ludah. Polisi terlihat berang, hadirin pun tak sabaran. Akhirnya dipanggil dari ruang belakang, sang penggubah lagu. Wage disuruhnya membawakan lagu tersebut, tanpa lirik, tanpa nyanyian. Walaupun syairnya sudah ditulis, diambilnya tas biola yang sering dibawanya. Sedikit diputarnya pasak biola, lalu dengan tarikan napas dalam dia mulai lantunan karyanya, yang bernama Indonesia Raya.
Lagu telah selesai dimainkan, hening sesaat menyelimuti seisi Clubgebouw. Wage menunduk layaknya seorang komposer, yang disambut riuh pengunjung dan teriakan merdeka yang membangunkan bapak kos serta tetangga di kawasan perumahan elit tersebut. Sebelum akhirnya dibubarkan dengan kawalan polisi, ingatan itu melekat pada pikiran bangsa, selamanya.
Tetap saja, Van der Plas yang telah mendengar lagu tersebut, masih apatis dan tidak terbuai. Entah khawatir jangka acara yang melanggar hukum, atau terpikir caranya pulang tengah malam begini. Atau bisa jadi dia terbuai namun sombong oleh perasaan. Entah.
Dari kegelisahan tentang siapa yang ada di badan ini, di tanah ini, di hati ini pada tiap-tiap pemuda indonesia kala itu beresonansi sehingga gelombangnya kian kuat untuk menggerakan kaki dan hati ini untuk berkumpul dan berpikir. Mereka yang gelisah, memberikan pikiran dan karyanya dalam sebuah waktu yang monumental. Waktu yang ireversibel diaktualisasikan menjadi niat untuk merdeka, yang lanjutannya menjadi niat untuk berbangsa.
Kegelisahan itu kini menjadi perlu dan penting, setiap pemuda wajib mencari jawaban atas kegelisahannya. Seperti Yamin dan Wage muda yang kala itu berusia 25 tahun. Mereka hendak mencari, untuk apa waktu ku isi? Untuk apa aku bersuara? kemanakah aku harus bergerak? apakah akan berhasil?. Semuanya menjadi gagasan dan karya yang membahagiakan, baik diri sendiri maupun bangsa Indonesia, bangsa yang diperjuangkannya. Mungkin dahulu berkat opresi belanda dan pikiran kebangsaan sebagai preteks, pemuda bisa sehebat itu mengkatalisasi kemerdekaan. Andai dahulu pemuda tidak diopresi, namun disuguhi Intisari, mungkin mereka akan bilang.. “Merdekanya nanti saja, bung”.
Kini kegelisahan itu seakan hilang dari pemuda. Pertanyaan itu hilang, oleh sebab para pemuda sibuk mencari remah-remah contekan, mabar game online atau stalking di media sosial. Pemuda sekarang tidak menyadari pentingnya kegelisahan. Itu apimu!… itu baramu!… yang panasnya menggerakkan bangsa. Kegelisahan itu terbukti memerdekakan. Dan rasa puas itu yang justru membelenggu. Kepuasan dan keengganan kita untuk kembali gelisah dan berpikir menjadikan kita hanya memandang abu sumpah pemuda, setelah apinya berkobar sekian lama menjadi suar kemana bangsa ini menuju. Senada seperti kata Bung Karno “Jangan mewarisi abu Sumpah Pemuda, tapi warisilah api Sumpah Pemuda. Kalau sekadar mewarisi abu, saudara-saudara akan puas dengan Indonesia yang sekarang sudah satu bahasa, bangsa, dan tanah air. Tapi ini bukan tujuan akhir,” (Disampaikan dalam peringatan Hari Sumpah Pemuda ke-35),
Rawatlah gelisahmu, wahai pemuda! yang ketika tua telah kehilangan kegelisahan. Yang tak kau sadar, itu apimu.
Di penghujung, saya akhiri tulisan ini dengan menuliskan kembali sajak dari Sutardji Calzoum Bachri:
KALIAN’
Pun
(1982)
Penulis
[Sekretaris Jenderal Harmoni Anak Negeri; Dosen Pendidikan Matematika STKIP Yasika]