Konsep tentang Pengertian “Filsafat Hukum Islam” ialah terdapat beberapa definisi yang sangat beragam. Bertolak dari berpikir analitis yang Metodis, radikal, dan sistematis bisa diberikan penjabaran ringkas dari sudut pandang Islam yang ditawarkan oleh para ahlinya, “Filsafat Hukum Islam” adalah upaya pemikiran manusia secara maksimal untuk memahami rahasia-rahasia dan tujuan-tujuan pensyariatan hukum Tuhan, dengan tidak meragukan substansi hukum itu sendiri sebagaimana pendekatan filsafat hukum pada umumnya.

Filsafat Hukum Islam ialah filsafat yang diterapkan pada hukum Islam. Ia merupakan suatu objek kajian filsafat khusus mengenai hukum Islam. Maka, filsafat hukum Islam adalah filsafat yang menganalisis hukum Islam secara metodis dan sistematis sehingga mendapatkan keterangan yang mendasar, atau menganalisis hukum Islam secara ilmiah dengan filsafat sebagai alatnya dan wahyu sebagai pedomannya yaitu al-Qur’an, Hadist, Qiyas dan Ijma.

Sebagai mahasiswa yang pada prakteknya konsentrasi dalam bidang hukum ini merupakan suatu kesetujua yang nyata bagi saya karena “dengan adanya keterkaitan antara 2 cabang ilmu tersebut yaitu antara filsafat dengan hukum, karena memang Filsafat Hukum Islam merupakan salah satu cabang dari ilmu filsafat”. Sehingga, wajar seluruh isi atau konten Filsafat Hukum Islam dibahas melalui pendekatan filsafat yang amat identik dengan akal sebagai sarananya. Dengan demikian, metode atau cara kerja Filsafat Hukum Islam adalah metode atau cara kerja akal. Dan sesuai dengan karakter akal yang abadi dalam proses perkembangan, demikian pula halnya dengan semua kajian filsafat.

Dalam kajian filsafat hukum islam lebih menitik beratkan pada kajian yang di bahas yaitu hukum islam sehingga hasil yang didapat pun dari Filsafat Hukum Islam yang dikaji dengan memaksimalkan daya pikir manusia ini ialah “dapat secara maksimal, memahami rahasia-rahasia dan tujuan-tujuan pensyariatan hukum Tuhan, dengan tidak meragukan substansi hukum itu sendiri”.

Selain hal tersebut Filsafat Hukum Islam menjelaskan antara lain tentang makna, hikmah serta nilai-nilai yang terkandung dalam ilmu seperti pada cabang hukum islam dalam bidang ilmu fiqh. Yang dimana kita dapat melaksanakan ketentuan-ketentuan Islam disertai dengan pengertian dan kesadaran yang tinggi. Dengan kesadaran hukum masyarakat seperti ini, tentunya harapan akan tercapainya keta’atan dan kedisiplinan yang tinggi dalam melaksanakan hukum sangat mungkin terrealisasikan, terkendalikan serta terkondisikan.

Seorang yang mempelajari ilmu Fiqh bersamaan dengan mempelajari Filsafat Hukum Islam, akan semakin memahami di mana letak ketinggian dan keindahan ajaran Islam, sehingga menimbulkan rasa cinta yang mendalam kepada Sumber Tertinggi Hukum, yaitu Allah Swt., kepada sesama manusia, kepada alam, dan kepada lingkungan di mana ia hidup.

Dengan demikian, tujuan mempelajari Filsafat Hukum Islam dapat dirinci sebagai berikut:

Semakin memantapkan keyakinan umat Islam akan keagungan Hukum Islam.

Keyakinan yang mantap itu menumbuhkan rasa taat hukum yang hampir tanpa “paksaan”. Umat Islam mentaati hukum bukan karena terpaksa, namun karena rasa cinta. taat kepada hukum karena keyakinan bahwa hukum dibuat sebagai perwujudan cinta Tuhan kepada makhluk-Nya.

Adapun perbedaan pendekatan filsafat dalam Hukum Islam dengan filsafat hukum pada umumnya terletak pada perbedaan substansi hukum itu sendiri. Hukum Islam merupakan hukum wahyu, sedangkan hukum pada umumnya adalah hasil pemikiran manusia semata.

Hukum Islam merupakan hukum yang berangkat, berjalan dan berakhir pada tujuan wahyu. Ia ada dan memiliki kekuatan berdasarkan wahyu. Ia memberikan perintah dan larangan berdasarkan wahyu. Dengan demikian, apa yang dianggap benar adalah apa yang dianggap benar oleh wahyu. Apa yang dianggap keliru, adalah apa yang disalahkan oleh wahyu. Adapun akal adalah sarana pendukung untuk memahami atau memikirkan operasional hukum.

Ketika hukum Islam menyatakan bahwa babi adalah haram, alasannya adalah karena al-Qur’an sebagai himpunan wahyu melarangnya. Demikian pula ketika Islam menyatakan bahwa perzinahan itu haram, alasannya karena al-Qur’an melarangnya. Sedangkan hukum pada umumnya (hukum non-Islam) adalah hasil pemikiran manusia semata. Karena ia merupakan hasil manusia, sementara hasil pemikiran manusia bisa terpengaruh oleh zaman, maka hukum tersebut juga bisa berbeda-beda bagi manusia yang hidup di daerah dan waktu serta zaman yang berbeda.

Ketika dahulu hubungan sesama jenis (homoseksual) dianggap sesuatu yang salah dan melanggar batas kewajaran, maka perbuatan itu dilarang (diharamkan) dan pelakunya memperoleh hukuman. Namun ketika sekarang perbuatan itu dianggap sesuatu yang wajar –karena sudah banyak orang melakukannya secara terang-terangan bahkan menjadi kebanggaan dan bisa dibenarkan, maka ia tidak lagi dilarang. Justru sebaliknya, orang yang menentang perbuatan itu dianggap telah melanggar hak asasi orang lain.

Yang amat menarik entah karena benar-benar hasil pemikiran murni atau iming-iming duniawi sekarang ada sebagian orang Islam yang mengatasnamakan kebebasan berpikir, memberanikan diri secara bersama-sama untuk menghalalkan perilaku homoseksual. Anehnya, mereka mendukung perilaku tersebut dengan mencoba mengotak-atik wahyu dengan logika mereka. Dengan demikian, mereka bukan lagi menggunakan akal sebagai sarana untuk memahami wahyu. Mereka menggunakan akal untuk “mengakali” wahyu. Namun untuk hal ini penulis mencukupkan diri sampai di sini.  Karena sebenarnya orang-orang seperti itu bukanlah para ahli hukum Islam yang sebenarnya.


Penulis

Enjang Epan Cahyadi

Account Officer Harmoni Anak Negeri